Mengupas tuntas keistimewaan mahakarya rempah bir pletok dan cethe bersama JJ Rizal
Ajang pameran dan hiburan terbesar, terlama, dan terlengkap se-Asia Tenggara, Jakarta Fair Kemayoran (JFK) tahun ini diselenggarakan untuk kelimapuluh kalinya. Dikemas lebih istimewa, JFK menghadirkan beragam kegiatan dan konten menarik yang turut mengangkat unsur budaya agar masyarakat dapat mengenal dan mengapresiasi kekayaan Mahakarya Indonesia.
Mengenai mahakarya, sejarawan JJ Rizal menuturkan, ”Pada dasarnya, mahakarya yang harus kita apresiasi dan jaga bersama terbagi menjadi dua; pertama ciptaan Tuhan seperti hasil alam, keragaman flora dan fauna, dan lainnya. Sedangkan yang kedua adalah hasil kreasi manusia, seperti kesenian, budaya, bahasa, hingga kuliner.”
Pameran yang diadakan untuk merayakan ulang tahun Jakarta ini setiap tahunnya dimeriahkan dengan keunikan ragam budaya. Salah satunya mahakarya yang patut diapresiasi adalah bir pletok dari tanah betawi. ”Bir pletok adalah minuman khas Betawi yang menjadi salah satu bukti peranan penting rempah-rempah, khususnya cengkeh, dalam kekayaan Mahakarya Indonesia. Di masa lalu, rempah yang terdiri dari cengkeh, pala, bunga pala, lada dan kayu manis telah menjadikan Indonesia sebagai pemain utama dalam sistem perniagaan yang oleh para ahli sejarah lebih sering disebut sebagai ’Jalur Rempah’,” jelas JJ Rizal.
Selain perniagaan, eksistensi Jalur Rempah juga telah memengaruhi kebudayaan yang akhirnya berkembang di berbagai belahan nusantara. Sebagai contoh, salah satu Mahakarya Indonesia yang mendunia dan lahir dari rempah adalah wine yang banyak ditemui di jamuan makan bangsa kolonial di masa penjajahan. Melihat hal ini, masyarakat Betawi pada saat itu juga turut menciptakan minuman khasnya sendiri yaitu bir pletok dengan racikan yang disesuaikan kembali dengan budaya timur.
Kreasi bir pletok ini pun tak lepas dari peranan rempah-rempah berkualitas, seperti cengkeh, jahe, jinten, daun pandan wangi, serai, dan kayu secang. Kata pletok sendiri diambil dari suara ‘pletok’ saat penyumbat kayu – yang biasanya digunakan untuk menutup botol anggur – dicabut. Minuman ini biasa disuguhkan saat momen-momen penting masyarakat Betawi. Keistimewaan bir pletok juga telah diakui di tingkat nasional, hingga dunia. Terbukti dengan penobatan bir pletok sebagai salah satu dari 30 Ikon Kuliner Nusantara oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif di tahun 2012. Keunikan minuman ini terus dipromosikan di dalam maupun luar negeri.
Selain bir pletok, Mahakarya Indonesia lain yang turut meramaikan Jakarta Fair Kemayoran 2017 adalah Cethe, budaya yang awalnya lahir di Tulungagung, Jawa Timur dan kini mulai menyebar ke daerah pesisir lainnya. ” Cethe merupakan salah satu bentuk budaya yang menggambarkan masyarakat Indonesia sebagai Homo Ludens, dimana manusia tidak selalu harus bekerja tetapi perlu menyediakan waktu untuk bersantai atau bermain. Justru dengan memanfaatkan waktu bersantai untuk berkreasi inilah, lahir berbagai karya seni budaya yang tersebar di seluruh wilayah nusantara,” ungkap JJ Rizal.
Cethe juga dapat dikaitkan dengan sejarah batik yang panjang dan tradisi ‘ngerawit’ (sebutan untuk motif batik yang penuh, rumit, sulit) yang kuat. Disinilah akhirnya sebuah produk budaya (batik) melahirkan produk budaya lain (cethe) sebagai bentuk reka cipta. Terinspirasi dari membatik, lahirlah budaya nyethe yaitu kegiatan mengoleskan ampas kopi ke batang rokok membentuk motif-motif tertentu, seperti batik, sulur, tulisan, sampai tribal.
Kedua mahakarya tersebut dapat ditemukan di JFK 2017 pada paviliun Mahakarya Indonesia yang menghadirkan ragam kekayaan Mahakarya Indonesia. Terkait hal ini, Renaldo Ratman dari Kilau Indonesia sebagai tim penyelenggara acara menyampaikan, “Paviliun Mahakarya Indonesia merupakan persembahan dari Dji Sam Soe Super Premium yang selalu berkomitmen untuk menjaga berbagai Mahakarya Indonesia, semata-mata karena segala sesuatu yang berharga harus dijaga dengan sempurna.”
Selain dua mahakarya tersebut, paviliun Mahakarya Indonesia juga mempersembahkan banyak aktivitas lain yang memberikan pengunjung kesempatan untuk menikmati berbagai pengalaman multisensorial yang akan memanjakan kelima panca indera mereka.
“Lebih dari itu, di paviliun ini, pengunjung dapat mengetahui lebih jauh tentang kegigihan perjalanan Dji Sam Soe yang dikemas menarik dalam ‘museum mini’ berisi beragam memorabilia, pengetahuan mengenai asal mula dan keunikan rempah Indonesia, cara memilih dan meracik rempah terbaik – khususnya cengkeh, mencicipi suguhan Kerak Telor khas Betawi di area santap mantap, dan banyak lainnya. Melalui paviliun ini, kami ingin mendekatkan kekayaan mahakarya yang dimiliki oleh Indonesia agar semakin dikenal dan pada akhirnya masyarakat dapat turut serta dalam menjaga dan melestarikan Mahakarya Indonesia,” tutup Reno.